Minggu, 25 Desember 2016

Peningkatan Keuntungan bagi UKM dengan penerapan sistem Jaminan Halal







 Sistem Jaminan Halal mulai diberlakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) pada tahun 2005, sebagai suatu sistem yang menjamin kepada MUI atas kehalalan produk suatu perusahaan sepanjang masa perusahaan itu memegang Sertifikat Halal MUI. Untuk memudahkan perusahaan memahami, menyusun dan mengimplementasikan sistem ini di perusahaannya, maka LPPOM MUI menerbitkan buku panduan edisi IV dengan judul “Panduan Umum Sistem Jaminan Halal”.

Sistem Manajemen Halal merupakan sistem yang mengelola seluruh fungsi dan aktifitas manajemen dalam menghasilkan produk halal. Kegiatannya harus melibatkan : perwakilan manajemen puncak, Quality control, purchasing, R&D, Produksi dan pergudangan. Sistem manajemen halal dipimpin oleh seorang Auditor Halal Internal (AHI). Auditor Halal Internal (AHI). AHI merupakan orang / tim yang terorganisir di lingkungan yang dapat melakukan audit secara langsung di perusahaan terhadap semua bidang yang berkaitan dengan produksi halal. AHI berasal dari bagian yang terlibat dalam proses produksi seperti purchasing, R&D, QC, produksi dan pergudangan. 

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kemu beriman kepada-Nya.(QS. Al-Maidah : 88)”. Pada dasarnya, tujuan dari produksi adalah menciptakan kemaslahatan atas kesejahteraan individu dan kesejahteraan bersama. Setiap muslim harus bekerja secara maksimal dan optimal, sehingga tidak hanya mencukupi diri sendiri akan tetapi juga mencukupi keluarganya. Pada prinsipnya terdapatbeberapa kriteria dalam berproduksi, di antaranya:
a. Berproduksi dalam lingkaran Islam
b. Menjaga sumber produksi
c. Tidak mendzalimi
Dengan beberapa faktor diatas, konsep halal menjadi hal terpenting yang harus diperhatikan khususnya pada produsen muslim. Konsep halal itusendiri dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 114

AHI bertugas dan bertanggung jawab mengkoordinasikan proses implementasi sistem jaminan halal yang telah ditetapkan perusahaan AHI memonitor proses produksi bahan secara menyeluruh mulai dari pemilihan bahan sampai produk jadi. Memahami titik kritis keharaman produk mengarsipkan dan memperbaharui dokumen-dokumen yang terkait dengan produksi halal, Melakukan audit internal secara berkala, melakukaan tindakan koreksi terhadap suatu kesalahan, menjalin hubungan dengan LPPOM MUI atau komunikasi langsung atau konsultasi, koordinator AHI harus orang Muslim yang mengerti dan menjalankaan syariat Islam

Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki Sertifikat Halal MUI
.
              Meskipun sertifikat halal sudah berada di tangan produsen, namun Sistem Jaminan Halal (SJH) kini dinilai sangat penting untuk melindungi konsumen muslim. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan SJH? Mengapa SJH menjadi demikian penting selain sertifikat halal itu sendiri. Seperti yang kita tahu logo halal dapat dicantumkan pada produk setelah produsen memperoleh sertifikat halal dari MUI, serta memiliki persetujuan pencantuman halal dari Badan POM. Logo halal pada lebel tersebut mengandung arti bahwa pada bahan atau pangan tersebut, tidak mengandung bahan-bahan haram atau diproses menurut cara yang halal.

             Untuk memperoleh sertifikat halal perusahaan harus melalui beberapa tahap. Pertama produk melalui tahapan sebelum beredar (Pre-market Evaluation) yaitu penilaian keamanan, mutu, gizi, dan kehalalan. Serta penelusuran bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam membuat produk tersebut. Setelah itu produk memasuki tahap pengawasan produk beredar (Post-premarket Vigillance). Pada tahap ini dilakukan inspeksi untuk memastikan makanan diproduksi secara baik, pemisahan bahan baku halal dan tidak halal di sarana distribusi, pemeriksaan label dan iklan, serta pengambilan sampel pengujian.

             Tetapi sebagai produsen dan konsumen, kita juga harus mengetahui bahwa sertifikat halal MUI memiliki masa berlaku hanya 2 tahun saja. Sedangkan jika masa berlaku telah habis, maka lebel halal tersebut dilarang dicantumkan kembali pada suatu produk. Menurut data dari LPPOM MUI terdapat 54,9% produk yang mencantumkan logo halal meskipun tidak memiliki sertifikat halal. Dalam kurun waktu 2 tahun tersebut, bukan tak mungkin terjadi perubahan-perubahan baik dalam sistem produksi maupun bahan baku. Padahal LPPOM MUI tidak bisa mengawasi kinerja perusahaan setiap saat. Oleh karena itu LPPOM MUI pun berpendapat perlunya sebuah sistem yang dapat menjamin terlaksananya produksi halal yang kini dikenal dengan Sistem Jaminan Halal. 

              Sosialisasi SJH juga diungkapkan pada sarasehan milad MUI 6 Januari 2011 lalu. Dimana digelar sebuah seminar 'Pemantapan Sistem Jaminan Halal'. Pengertian Sistem Jaminan Halal sendiri adalah sistem yang disipkan dan dilaksanakan perusahaan pemegang sertifikat halal, bertujuan untuk menjamin proses produksi dan produk yang dihasilkan adalah halal dan sesuai dengan aturan yang digariskan MUI. SJH juga merupakan bagian dari komitmen dan kebijakan perusahaan yaitu sebagai rasa tanggung jawab bersama. Dan hendaknya perusahaan yang sudah memiliki SJH dapat melaksanakan ketetapan tersebut secara internal mulai dari level terendah hingga tertinggi. Diharapkan dengan melaksanakan Sistem Jaminan Halal ini, perusahaan halal dapat menjamin terus-menurus produksi produk halal. Konsumen muslim pun makin terjamin dalam mengkonsumsi produk-produk halal tanpa rasa was-was.

Daftar pustaka :
Al-Jumanatul Ali, Al-Qur‟an dan terjemahnya, Bandung: Departemen Agama RI, 2004,
Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, Malang: UIN Malang Press, Cet.ke-1, 2008, h.48